Beranda | Artikel
Jangan Sampingkan Akhlaq Terhadap Allah
Minggu, 28 Februari 2010

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Akhlaq adalah karakter batin yang baik yang sudah menjadi tabiat seseorang. Demikian definisi akhlaq yang biasa diterangkan oleh para ulama. Banyak sekali dalil yang menyebutkan mengenai keutamaan orang yang berakhlaq mulia. Di antaranya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya di antara mereka.[1]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَا مِنْ شَىْءٍ يُوضَعُ فِى الْمِيزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَإِنَّ صَاحِبَ حُسْنِ الْخُلُقِ لَيَبْلُغُ بِهِ دَرَجَةَ صَاحِبِ الصَّوْمِ وَالصَّلاَةِ

Tidak ada sesuatu amalan yang jika diletakkan dalam timbangan lebih berat dari akhlaq yang mulia. Sesungguhnya orang yang berakhlaq mulia bisa menggapai derajat orang yang rajin puasa dan rajin shalat.[2]

Oleh karena itu, Nabi kita diutus untuk menyempurnakan akhlaq manusia. Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ

Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia.[3]

Namun kebanyakan orang memahami bahwa akhlaq yang mulia hanya terkait dengan muamalah terhadap sesama manusia dan tidak termasuk di dalamnya berakhlaq dengan sang Kholiq (yaitu Allah). Pemahaman seperti ini amatlah dangkal. Yang benar, akhlaq mulia di samping berperilaku baik dengan manusia, juga berperilaku baik di hadapan Allah, sang Kholiq. Jadi berakhlaq yang mulia sebenarnya mencakup dua hal yaitu berakhlaq mulia terhadap Allah dan berakhlaq mulia di hadapan sesama makhluk.[4]

Dari penjelasan di atas, selanjutnya kita akan melihat bagaimana bentuk akhlaq mulia terhadap Allah. Dalam hal ini kami dapat menjabarkan menjadi tiga bentuk:

  1. Membenarkan setiap berita yang Allah sampaikan.
  2. Melaksanakan setiap hukum yang Allah perintahkan.
  3. Menerima takdir yang Allah tetapkan.[5]

Pertama: Membenarkan setiap berita

Ketika mendengar berita yang Allah sampaikan, begitu pula yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seseorang yang dikatakan berakhlaq baik haruslah menerima berita tersebut. Karena Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا

Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah ?” (QS. An Nisa’: 87). Dalam ayat lainnya, Allah mengatakan mengenai Rasul-Nya yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm: 3-4)

Tugas kita selaku hamba Allah dan pengikut Rasul-Nya adalah menerima setiap berita yang datang dari keduanya. Sebagaimana dikatakan oleh Az Zuhri rahimahullah,

مِنَ اللَّهِ الرِّسَالَةُ ، وَعَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – الْبَلاَغُ ، وَعَلَيْنَا التَّسْلِيمُ

Risalah (wahyu) datangnya dari Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah menyampaikan. Sedangkan kewajiban kita adalah menerimanya.[6]

Misalnya ketika kita menyikapi sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai lalat yang jatuh dalam makanan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ ، فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ، ثُمَّ لْيَطْرَحْهُ ، فَإِنَّ فِى أَحَدِ جَنَاحَيْهِ شِفَاءً وَفِى الآخَرِ دَاءً

Jika seekor lalat jatuh di tempat minum salah seorang di antara kalian, maka celupkanlah seluruh bagian lalat tersebut. Lalu buanglah lalat tadi. Karena di salah satu sayapnya terdapat penawar dan sayap lainnya adalah racun.”[7] Dalam riwayat lain disebutkan,

فَإِنَّهُ يُقَدِّمُ السُّمَّ وَيُؤَخِّرُ الشِّفَاءَ

Karena yang pertama kali dicelupkan lalat tersebut adalah racun. Dan di sayap lainnya terdapat penawarnya.[8]

Bentuk berakhlaq baik kepada Allah adalah dengan menerima dan membenarkan berita yang dikatakan dalam hadits ini. Sehingga tidak perlu seseorang mempertentangkannya dengan logika atau pendapat orang barat yang sungguh jauh dari keimanan.

Contoh lainnya lagi adalah ketika kita menyikapi hadits yang menceritakan bahwa pada hari kiamat nanti posisi matahari akan begitu dekat dengan manusia. Dari Al Miqdad bin Al Aswad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تُدْنَى الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ حَتَّى تَكُونَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيلٍ

Matahari akan didekatkan pada makhluk pada hari kiamat nanti hingga mencapai jarak sekitar satu mil.” Sulaiman bin ‘Amir, salah seorang perowi hadits ini mengatakan bahwa dia belum jelas mengenai apa yang dimaksud dengan satu mil di sini. Boleh jadi satu mil tersebut adalah seperti jarak satu mil di dunia dan boleh jadi jaraknya adalah satu celak mata.”[9]

Jadi, intinya dalam hadits ini menerangkan bahwa matahari ketika itu akan didekatkan dengan jarak yang begitu dekat. Ada mungkin yang mengatakan, “Saat ini jika matahari didekatkan ke bumi dengan jarak satu mil –padahal suhu matahari begitu tinggi (suhu permukaannya sekitar 6000oC)-, tentu saja bumi akan hangus terbakar. Lalu apa yang terjadi jika matahari didekatkan ke kepala dengan jarak yang begitu dekatnya?!”

Dalam lanjutan hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,

فَيَكُونُ النَّاسُ عَلَى قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ فِى الْعَرَقِ فَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى كَعْبَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى حَقْوَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ الْعَرَقُ إِلْجَامًا

Keringat manusia ketika itu sesuai dengan kondisi amalannya. Ada di antara mereka yang keringatnya sampai di mata kaki. Ada pula yang keringatnya sampai di paha. Ada yang lain sampai di pinggang. Bahkan ada yang tenggelam dengan keringatnya.

Jika kita memperhatikan, hadits ini terasa bertentangan dengan logika kita. Namun sebenarnya dapat kita katakan, “Kekuatan manusia ketika hari kiamat berbeda dengan kekuatannya ketika sekarang di dunia. Namun manusia ketika hari kiamat memiliki kekuatann yang luar biasa. Mungkin saja jika manusia saat ini berdiam selama 50 hari di bawah terik matahari, tanpa adanya naungan, tanpa makan dan minum, pasti dia akan mati. Akan tetapi, sangat jauh berbeda dengan keadaan di dunia. Bahkan di hari kiamat, mereka akan berdiam selama 50 ribu tahun, tanpa ada naungan, tanpa makan dan minum.”[10]

Sudah seharusnya kita menerima setiap apa yang Allah dan Rasul-Nya sampaikan tanpa perlu kita pertentangkan dengan logika kita. Inilah bentuk akhlaq mulia terhadap Allah. Semoga kita bisa memperhatikan dengan baik penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berikut, “Akal memang merupakan syarat untuk mengilmui sesuatu dan untuk beramal dengan baik dan sempurna. Akal pun akan menyempurnakan ilmu dan amal. Akan tetapi, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Akal bisa berfungsi jika dia memiliki instink dan kekuatan sebagaimana penglihatan mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al Qur’an barulah akal akan seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian tanpa cahaya, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu.”[11]

Kedua: Menjalankan setiap perintah

Begitu pula sikap seorang muslim yang benar adalah tidak menentang hukum Allah. Jika seseorang menentang hukum Allah, maka itu berarti ia tidak berakhlaq baik di hadapan Allah. Terserah ia pertentangkan dengan mengingkari atau karena sombong dengan meremehkan kebenaran, atau pula ia menolaknya dengan meremehkan ajaran tersebut. Ini semua termasuk bentuk tidak berakhlaq yang baik terhadap Allah.

Misalnya, Allah perintahkan shalat lima waktu sehari semalam. Sebagian orang memang merasakannya berat, terutama orang munafik. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَثْقَلَ صَلاَةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلاَةُ الْعِشَاءِ وَصَلاَةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya’ dan shalat Shubuh. Seandainya mereka mengetahui keutamaan yang ada dalam dua shalat tersebut, tentu mereka akan menandatanginya walaupun sambil merangkak.[12]

Namun bagi orang yang beriman, shalat tentu tidaklah berat. Allah Ta’ala berfirman,

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ (45) الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (46)

Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah: 45-46)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,

حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ

Perhiasan dunia yaitu wanita dan harum-haruman dijadikan kesukaan bagiku. Shalat pun dijadikan penyejuk mata bagiku.[13] Jadi termasuk berakhlaq baik terhadap Allah, seseorang menunaikan shalat dalam keadaan hatinya lapang dan thuma’ninah (tenang).

Ketiga: Menerima takdir Allah

Bentuk ini pula termasuk berakhlaq baik terhadap Allah, yaitu seseorang mengetahui bahwa setiap apa yang Allah takdirkan terdapat hikmah besar di balik itu semua. Seseorang pun mesti yakin bahwa setiap apa yang Allah kehendaki pasti terjadi dan setiap apa yang tidak Allah kehendaki tidak mungkin terjadi. Sampai-sampai Ibnul Qayyim mengatakan, “Landasan setiap kebaikan adalah jika engkau tahu bahwa setiap yang Allah kehendaki pasti terjadi dan setiap yang tidak Allah kehendaki tidak mungkin terjadi.”[14]

Di antara contoh hal ini adalah bersabar dengan takdir Allah. Inilah yang dipuji dalam firman Allah,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (157)

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al Baqarah: 155-157)

Semoga kita dapat memahami bahwa Allah tidaklah hanya berbuat baik terhadap sesama, namun yang lebih utama dan semestinya tidak disampingkan adalah berakhlaq baik terhadap Allah. Hanya Allah yang memberi taufik.

Diselesaikan di Pangukan, Sleman, 26 Shofar 1431 H

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel https://rumaysho.com

 


[1] HR. Abu Daud no. 4682, At Tirmidzi no. 1162, 2612, Ad Darimi no. 2792, Ahmad (2/527), dari Abu Hurairah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat As Silsilah Ash Shohihah no. 284.

[2] HR. Tirmidzi no. 2134, dari Abu Dardaa’. Syaikh Al Abani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih Al Jaami’ no. 5726.

[3] HR. Ahmad (2/381), dari Abu Hurairah. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[4] Lihat penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Makaarimul Akhlaq, hal. 13, Darul Ghod Al Jadid, cetakan pertama, tahun 1426 H.

[5] Lihat Makarimul Akhlaq, hal. 13.

[6] Disebutkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya ketika membawakan Bab mengenai firman Allah surat Al Maidah ayat 67.

[7] HR. Bukhari no. 5782, dari Abu Hurairah.

[8] HR. Ibnu Majah no. 3504, dari Abu Sa’id. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[9] HR. Muslim no. 7385, dari Al Miqdad bin Al Aswad.

[10] Lihat Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, hal. 370, Darul Aqidah.

[11] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 3/338-339, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.

[12] HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651, dari Abu Hurairah.

[13] HR. An Nasai no. 3939, dari Anas bin Malik. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Lihat Al Misykah no. 5261 dan Shahih Al Jaami’ Ash Shogir no. 3124.

[14] Al Fawaid, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 94, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, tahun 1425 H.


Artikel asli: https://rumaysho.com/875-jangan-sampingkan-akhlaq-terhadap-allah.html